Sabtu, 03 Desember 2016

Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan dan Pembelajaran Pk. Dr.Anam Sutopo



TUGAS KELOMPOK

”MAKALAH URGENSI FILSAFAT PENDIDIKAN
BAGI PELAKU DAN PEMERHATI PENDIDIKAN”



Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan dan Pembelajaran
Dosen Pengampu : Dr. Anam Sutopo



 
                                                 






  DISUSUN OLEH :
       ARFAN RIFQI F            (Q100160069 / IA)
       BIMA PERMANA S      (Q100160079 / IA)
       SRI WAHYUNI              (Q100160080 / IA)

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
2016

KATA PENGANTAR

Puji sukur hanya untuk Allah SWT yang telah menganugerahi karunia-Nya yang begitu banyak, sehingga makalah yang berjudul URGENSI FILSAFAT PENDIDIKAN BAGI PELAKU DAN PEMERHATI PENDIDIKAN ini dapat diselesaikan tepat waktu. Makalah ini disajikan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan dan Pembelajaran pada Program Studi Magister Administrasi Pendidikan Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Di dalam makalah ini dipaparkan kosep otonomi pendidikan dengan mengambil sudut pandang dari beberapa sumber. Pada makalah ini dipaparkan pula urgensitas pelaksaan dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi pendidikan. Selain itu, dijabarkan juga analisis terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, dan di bagian akhir makalah ini terdapat kesimpulan dan saran bagi perbaikan pelaksanaan otonomi pendidikan.
Diharapkan makalah ini dapat memberi masukan kepada para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan di pusat maupun daerah dan menjadi stimulus bagi para pelaku pendidikan di lapangan pendidikan.
Akhir kata, kritik dan saran yang dapat menyempurnakan makalah ini sangat diharapkan.

Surakarta, Oktober 2016

Penulis









DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR ...................................................................................... .. 2

DAFTAR ISI  ..................................................................................................... ...3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. ...4
A.      Latar Belakang Permasalahan................................................... ...4
B.      Ruang Lingkup Penulisan ......................................................... ...5
C.     Tujuan Penulisan......................................................................... ...6

BAB II PEMBAHASAN  ..................................................................................    7
A.      Urgensi Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan
Pemerhati Pendidikan dalam Konsep Otonomi
Pendidikan……………………………………            ………………….....7
B.      Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati
Pendidikan dalam Urgensi Otonomi Pendidikan……………..10
C.     Urgensi Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan
Pemerhati Pendidikan dalam Permasalahan
Pelaksanaan Otonomi Pendidikan…………………………….12
D.     Analisis Masalah Urgensi Filsafat Pendidikan
bagi Pelaku dan Pemerhati Pendidikan dalam
Konsep Pelaksanaan Otonomi Pendidikan………………......13

BAB II PENUTUP      ......................................................................................  18
A.       Kesimpulan................................................................................ 18
B.       Saran ..........................................................................................  18

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 22
                       

BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang Permasalahan
Sentralisasi pengelolaan pendidikan nasional selama Indonesia merdeka, ternyata telah menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini tercermin dalam laporan United National Development Program (UNDP), yang memposisikan Indonesia pada peringkat 110 dari 173 negara, jauh di bawah Malaysia (peringkat 55), Thailand (peringkat 70), Filipina (peringkat 77), Cina (peringkat 96) dan Vietnam (peringkat 109). Kenyataan tersebut telah mendorong lahirnya semangat baru dan visi yang lebih demokratis dan lebih desentralistis dalam pengelolaannya, sehingga dapat mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan potensi dirinya, potensi lingkungan terdekatnya, dan potensi yang lebih luas. 
Isu-isu sentral yang dihadapi bangsa Indonesia pada era dan pasca era reformasi mencakup pula globalisasi yang makin merasuk dan menerpa dengan keras terhadap seluruh aspek kehidupan, harus segera dijawab oleh bangsa Indonesia dengan mempersiapkan tenaga pembangunan yang tangguh dan berwawasan global. Globalisasi sebagai akibat berkembangnya teknologi informasi merupakan salah satu karakteristik Abad 21 yang sangat signifikan. Isu ke dua terkait dengan tantangan situasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sendiri untuk melakukan reformasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Isu ke tiga berkaitan dengan otonomi daerah yang telah menciptakan kondisi baru untuk melakukan pembaharuan di berbagai sektor pembangunan nasional, termasuk sektor pendidikan. Perubahan di sektor pendidikan tidak saja berkait dengan sistem kelembagaan dan program pendidikan, tetapi juga berkait dengan visi, misi, dan peranannya dalam merespon tuntutan baru dewasa ini dengan wawasan global, nasional, regional, dan lokal.
Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal tentu mengundang problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan ini memeng sangat sulit diputus. Selain itu, dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh yang sungguh-sungguh dari pemerintah pusat mauun daerah untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa.
Oleh karena itu, pada era otonomi saat ini, hendaknya dapat menjadi harapan baru bagi kita yang terlibat dalam pengembangan pendidikan agama. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal otonomi pendidikan adalah mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, accountable, serta mendorong partisipasi masyarakat.
Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemeran utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya. Hal tersebut menjadi alasan penulis untuk mengangkat judul di atas yakni urgensi filsafat pendidikan bagi pelaku dan pemerhati pendidikan untuk mengetahui filsafat pendidikan serta menerapkannya untuk membantu memeinimalisir masalah pendidikan yang ada saat ini.
 
B.   Ruang Lingkup Penulisan
Makalah ini berfokus pada beberapa hal yang berkaitan dengan urgensi filsafat pendidikan bagi pelaku dan pemerhati pendidikan dalam bidang otonomi pendidikan dan pelaksanananya. Struktur makalah ini diawali dengan paparan konsep tentang otonomi Pendidikan, kemudian diikuti dengan penjelasan urgensi pelaksanaan otonomi pendidikan, permasalahan dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, dan diakhiri dengan analisis masalah dalam kebijakan otonomi pendidikan dan pelaksanaannya.


C.   Tujuan Penulisan
Secara umum, makalah ini ditulis dengan maksud memberikan gambaran umum tentang urgensi filsafat pendidikan bagi pelaku dan pemerhati pendidikan dalam konsep otonomi pendidikan, urgensi pelaksanaan otonomi pendidikan, permasalahan dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, dan bagaimana mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Diharapkan makalah ini dapat memberi masukan kepada para pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan di pusat maupun daerah dan menjadi stimulus bagi para pelaku pendidikan di lapangan pendidikan.
Secara khusus, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan dan Pembelajaran pada Program Pascasarjana Program Studi Magister Administrasi Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta.












BAB II
PEMBAHASAN

A.   Urgensi Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati Pendidikan dalam Konsep Otonomi Pendidikan
Reformasi 1998 menjadi babak baru dalam segala aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Era ini mendatangkan hawa perubahan pada arah kebijakan pendidikan nasional. Kebijakan otonomi daerah telah menghasilkan kebijakan desentralisasi pendidikan dan manajemen berbasis sekolah dimana masing-masing sekolah diberikan keleluasaan untuk mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Otonomi pendidikan memiliki pengertian luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan maupun manajemen pendidikan itu sendiri. Pengertian otonomi pendidikan bersifat filosofis, karena untuk mendapatkan landasan yang kokoh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis dan universal tentang hakikat otonomi.
Dalam konteks otonomi pendidikan, secara alamiah (nature) pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, sehingga otonomi pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam mewujudkan fungsi manajemen pendidikan kelembagaan. Sebagai sebuah bangsa yang plural, sudah saatnya setiap daerah di negara ini melaksanakan program pendidikan yang terbaik untuk daerahnya, sementara tugas pemerintah pusat hanya membuat regulasi dan memberikan pengawasan serta bertanggung jawab sepenuhnya bagi terlaksananya pendidikan nasional sebaik mungkin.
Sejarah perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang demokratis kalau tidak dapat disebut liberal ketika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai dari UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “privatisasi” perguruan tinggi negeri dengan status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 25 tahun 2000, sampai UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan, juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah. Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis.
Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi pendidikan, menurut Tilar (dalam Marihot  Manurung) mencakup enam aspek, yakni:
1.  Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah, 
2.  Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan, 
3.  Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah, 
4.  Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan, 
5.  Hubungan kemitraan stakeholders  pendidikan,
6.  Pengembangan infrastruktur sosial. [1]
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bab IV tentang Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah. Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan”, pasal 9: “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”.[2]
Kebijakan pemerintah tentang desentralisasi (otonomi) sudah barang tentu akan berimplikasi terhadap kebijakan daerah. Dalam perumusan kebijakan daerah tidak hanya melibatkan tokoh-tokoh kunci saja, akan tetapi melibatkan semua unsur, seperti pejabat struktural dan non-struktural, resmi dan tidak resmi, langsung maupun tidak langsung mempunyai andil terhadap kebijakan tersebut. Implikasi yang muncul dari kebijakan pemerintah tersebut juga akan melibatkan banyak  faktor. Tim Teknis Bappenas yang bekerja sama dengan Bank Dunia mengemukakan bahwa konsep desentralisasi dan implikasinya sebagai berikut:
(1)       Implikasi administrasi, yakni pemberian kewenangan yang lebih besar kepada daerah untuk ikut melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan potensi dan kebutuhan setempat,
(2)       Impilkasi kelembagaan, yakni kebutuhan anak untuk meningkatkan kapasitas perencaan dan pelaksanaan unit-unit kerja daerah,
(3)       Implikasi keuangan, yakni kebutuhan dana yang lebih besar bagi daerah untuk dapat melaksanakan fungsinya di bidang pembangunan, dan
(4)       Implikasi pendekatan perencanaan pendidikan, yakni kebutuhan untuk memperkenalkan model pendekatan kewilayahan yang bermula dari bawah, dengan melibatkan peran serta masyarakat semaksimal mungkin.[3]  
B.   Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati Pendidikan dalam Urgensi Otonomi Pendidikan
Dengan semangat demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi, maka dalam Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat paling kurang sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal (daerah), sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional.
Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10 disebutkan: “Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan: “Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.” Pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.” Ayat (3) pasal tersebut berbunyi: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarkan oleh masyarakat.” Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan: “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD.” Ayat (4) berbunyi: “Dana pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[4]
Sebenarnya masih banyak pasal yang menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah daerah, namun dari beberapa pasal yang dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan hak dan kewajiban pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan nasional.
Otonomi pendidikan merupakan suatu keharusan. Hamijoyo (dalam Sufyarma M.) mengemukakan perlunya otonomi pendidikan dilaksanan dengan alasan-alasan berikut: (1) wilayah Indonesia yang secara geografis sangat luas dan beraneka ragam, (2) aneka ragam golongan dan lingkungan sosial, budya, agama, ras dan etnik serta bahasa, disebabkan antara lain oleh perbedaan sejarah perkembangan penduduk dengan segala aspek kehidupannya, (3) besarnya jumlah dan banyaknya jenis populasi pendidikan yang tumbuh sesuai dengan perkembangan ekonomi, iptek, perdagangan, dan sosial budaya, (4) perbedaan lingkungan suasana yang mungkin saja menimbulkan asspirasi dan gaya hidup yang berbeda antara wilayah satu dan lainnya, dan (5) perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang cepat dan dinamis menuntut penanganan segala persoalan secara cepat dan dinamis pula.[5]
Pemberian aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-undang Sisdiknas, diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain.
Jika setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat dilaksanakan secara baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang mengitari dunia pendidikan kita selama ini dapat diatasi dan diantisipasi. Oleh karena itu, untuk merealisasikan semua itu memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak.
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah di beberapa provinsi di Indonesia. Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak.

C.   Urgensi Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati Pendidikan dalam Permasalahan Pelaksanaan Otonomi Pendidikan
Sejak digulirkannya otonomi pendidikan, ternyata pelaksanaannya belum berjalan sebagaimana diharapkan, bahkan pemberlakuan otonomi justru  membuat banyak masalah.
Menurut Marihot, ada 6 (enam) faktor yang menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan, yaitu:
1.  Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di tingkat kabupaten dan kota.
2.  Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta fasilitas yang tidak memadai.
3.  Dana pendidikan dan APBD belum memadai.
4.  Kurangnya  perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
5.  Otoritas pimpinan, dalam hal ini Bupati dan Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama.
6.  Kondisi setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki.[6]
Pelaksanaan otonomi Pendidikan masih belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya pendidikan serta pemerataannya.

D.   Analisis Masalah Urgensi Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati Pendidikan dalam Konsep Pelaksanaan Otonomi Pendidikan
Pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya pendidikan dilakukan secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan dan pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan cita-cita bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (sistems of values) yang memberi warna dan menjadi "semangat zaman" yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti ideologi suatu bangsa yang dianutnya. Pancasila adalah dasar dan ideologi bangsa Indonesia yang mempunyai fungsi dalam hidup dan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Pancasila menjadi pandangan hidup bangsa yang menjiwai segala aspek dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Karenanya sistem pendidikan nasional Indonesia wajar apabila dijiwai, didasari dan mencerminkan identitas Pancasila. Cita dan karsa bangsa Indonesia diusahakan secara melembaga dalam sistem pendidikan nasioanal yang bertumpu dan dijiwai oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan folosofi tertentu. Inilah dasar pikiran mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasioanl dan sistem filsafat pendidikan Pancasila adalah sub sistem dari sistem negara Pancasila. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan dalam membangun potensi bangsa, khususnya dalam melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa yang ada pada akhirnya menentukan eksistensi dan martabat bangsa. maka sistem pendidikan nasional dan filsafat pendidikan pancasila seyogyanya terbina secara optimal supaya terjamin tegaknya martabat dan kepribadian bangsa. Filsafat pendidikan Pancasila merupakan aspek rohaniah atau spiritual sistem pendidikan nasional, tiada sistem pendidikan nasioanal tanpa filsafat pendidikan.
Dalam kaitan dengan reformasi pendidikan, maka apa yang menjadi landasan filsafat dalam pendidikan adalah UUD 1945 pasal 31 ayat (1), yang menyebutkan bahwa setiap anak Indonesia berhak untuk belajar. Dengan demikian, maka berdasarkan landasan bahwa setiap anak itu adalah individu yang berbeda satu dengan lainnya dengan beragam bakat dan watak, pengalaman belajar harus menjadi pengaruh yang bersifat personal, bermakna dan beragam. Konsekuensinya adalah bahwa paradigma pendidikan menuju sistem desentralisasi dalam otonom daerah mengacu pada keharusan pendidikan multikultur. Paradigma pendidikan multikultur mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar bersama dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan saling memahami.
Reformasi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan majemuk, sehingga memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dalam tempo yang panjang. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan harus memberikan peluang bagi siapapun pelaku yang aktif dalam pendidikan, untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan kualitas pendidikan. Reformasi pendidikan pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.
Dalam menentukan tujuan pendidikan ada beberapa nilai yang harus diperhatikan. Hummel (dalam Uyoh Sadulloh) mensyaratkan tiga nilai yang harus dipertimbangkan dalam menentukan tujuan pendidikan, yaitu: autonomy, equity, survival.
Pertama, autonomy, yaitu memberi kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok, untuk dapat hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik. Kedua equity, berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan berbudaya dan kehidupan ekonomi, dengan memberikan pendidikan dasar yang sama. Ketiga, survival, yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.[7]
Desentralisasi pendidikan merupakan bagian dari kerangka otonomi daerah yang berimplikasi pada perimbangan keuangan pusat-daerah, baik dari sisi pendapatan maupun pengeluaran. Sesuai dengan arah otonomi, sumber pembiayaan rutin dan pembangunan pendidikan harus bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota. Akan tetapi, minimnya alokasi anggaran pendidikan di daerah merupakan salah satu bukti lemahnya keberpihakan pemerintah kabupaten/kota dalam bidang pendidikan. Dari sekitar 370 kabupaten/kota di Indonesia, rata-rata memberi porsi anggaran sebesar 73 persen untuk belanja rutin pegawai, pejabat, dan DPRD. Hanya 27 persen untuk pembangunan. Dari total anggaran pembangunan, bidang pendidikan rata-rata hanya kebagian tiga persen. Keberpihakan ini perlu digarisbawahi karena untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain, Indonesia harus membenahi bidang pendidikan. Laporan UNDP tahun 2002 menyebutkan, Human Development Index (HDI, index pembangunan manusia) Indonesia berada pada peringkat 109 dari 174 negara yang diteliti.
Hal lain yang juga harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan otonomi  pendidikan adalah bahwa pelaksanaan otonomi pendidikan harus bersifat accountable, artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Ada kecenderungan para bupati/wali kota begitu bersemangat untuk mengurusi semua bidang, termasuk bidang pendidikan. Namun, semangat mereka tidak diimbangi dengan kesadaran akan konsekuensi dan tanggung jawabnya. Yang dikejar adalah kucuran dana dari pusat, tanpa sadar bahwa hal itu punya konsekuensi yang besar. Kewenangan mengelola pendidikan, misalnya, harus diikuti upaya menciptakan iklim kondusif untuk pendidikan dasar-menengah.
Prof. Dr. Sadu Wasistiono, Ketua Komisi Otonomi Daerah pada Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia, dalam sebuah kesempatan menilai bahwa ada kecenderungan pemerintah kabupaten/kota mengintervensi pengangkatan kepala sekolah. Sungguh sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan manajemen berbasis sekolah (MBS). Padahal, konsep MBS pada awalnya dibuat untuk menyeleraskan otonomi daerah dengan otonomi bidang pendidikan. Dalam hal ini, para guru dan perwakilan masyarakat di setiap sekolah secara otonom berhak memilih dan mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah berdasarkan kinerjanya. "Konsep MBS memang ideal, tetapi praktiknya terkacaukan oleh paradigma sempit para birokrasi soal otonomi daerah," ujar Sadu.[8]
Staf ahli Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Ace Suryadi, Ph.D. dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa di sebuah provinsi di luar Jawa, kecenderungan bupati/wali kota berperilaku sebagai "raja-raja kecil" telah mengangkangi otonomi sekolah. Rentang kendali birokrasi bukannya makin sederhana, tetapi malah tambah rumit. Pembayaran gaji dan honor kelebihan jam mengajar sering terlambat dari jadwal karena anggarannya tersangkut pada meja-meja birokrasi di daerah. Bahkan, untuk kebijakan internal sekalipun, tidak jarang perangkat bupati dan DPRD ikut campur tangan. Misalnya, untuk memecat siswa yang nakal kepala sekolah harus berembuk dengan perangkat dinas pendidikan dan DPRD. Kalau tidak ada koordinasi, kepala sekolah bisa dipersalahkan jika muncul gejolak sosial sebagai buntut pemecatan itu.[9]
Melihat kenyataan itu, pantaslah kita jika menggugat komitmen semua kalangan yang tadinya menggebu-gebu menuntut desentralisasi. Semua pihak, terutama pemerintah kabupaten/kota selaku ujung tombak otonomi daerah, perlu mencermati keadaan riil di lapangan. Jangan sampai eforia otonomi justru melahirkan ketidakberaturan pada bidang pendidikan.



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Desentralisasi pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis terdepan dalam berperilaku untuk mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya.
2.      Reformasi pendidikan merupakan realitas yang harus dilaksanakan, sehingga diharapkan para pelaku maupun penyelenggara pendidikan harus proaktif, kritis dan mau berubah.
3.      Belajar dari pengalaman sebelumnya yang sentralistik dan kurang demokratis membuat bangsa ini menjadi  terpuruk. Penyelenggaraan otonomi pendidikan sepenuh hati dan konsisten dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa dan masyarakat yang berbudaya dan berdaya saing tinggi sehingga bangsa ini duduk sejajar dengan bangsa-bangsa maju di dunia.
4.      Pelaksanaan otonomi daerah yang berimplilkasi pada otonomi pendidikan membawa dampak pada terjadinya kesenjangan antar daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing  daerah.

B.   Saran
Berangkat dari ide otonomi pendidikan, muncul beberapa konsep sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaannya, yaitu :

1.  Meningkatkan Manajemen Pendidikan Sekolah
Dalam menghadapi kondisi di lapangan saat ini, maka dalam pelaksanaan otonomi pendidikan perlu dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada kompetensi guru dan kesejahteraannya. Ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan rumah. Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru, fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan program peningkatan mutu pendidikan  secara bersama-sama.
2.  Reformasi Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure) untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan   diharapkan dapat mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin. Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3.  Kemauan Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
Pada era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang.
Otonomi pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik.
4.  Membangun Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi sumber daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia. Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan, pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah/Kota sebagai Brain Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik, kinerjanya dan tentang tanggungjawabnya dalam turut serta memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat.

5.  Pengaturan Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
Pemerintah Pusat   tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah. Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan katalisator bukan regulator.
Otonomi pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar berjalan efektif dan efisien.





















DAFTAR PUSTAKA

Aanchoto. 2010. Filsafat Pendidikan dan Perspektif Islam. Diakses pada situs http://aanchoto.com/2010/06/filsafat-pendidikan-dan-perspektif-islam/. Tanggal 16 Oktober 2016 pada pukul 18.30 WIB.

Azra, Azumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Bandung: Alfabeta.

Arahan Permendikbud. 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.

Bernadib. 2987. Filsafat Pendidikan/Sistem dan Metode. IKIP Yogyakarta.

Hasan. 2013. Landasan Filosofis Kurikulum. Jakarta: Rajawali Pers.

Jalalluddin dan Abdullah Idi, 1997.Filsafat Pendidikan. Jakarta:Gaya media Pratama. Hal.116-120.

                                                         , 2002. Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta: Gaya Media Pratama.

Jalan Terjal Menuju Otonomi Pendidikan, http://www.polarhome. com/pipermail/nasional-m/2002-December/000518.html (Diakses pada hari Minggu 16 Oktober 2016 pada pukul 20.55 WIB).
 
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat,. Yogyakarta: Paradigma.

Massofa. 2008. Peranan Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Ilmu Pendidikan. Diakses pada situs http://masoffa.wordpress.com/2008/01/15/peranana-filsafat-pendidikan-dalam-pengembangan-ilmu-pendidikan/. Tanggal 16 Oktober 2016 pada pukul 19.00 WIB.

Mudyahardjo, Redja. 2002. Filsafat Ilmu Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Marihot Manulang. Otonomi Pendidikan,  http://pakguruonline.pendidikan. net/otonomi_pendidikan.html (Diakses pada hari Minggu 16 Oktober 2016 pada pukul 21.05 WIB).

Noorsam, Muhammad.1986.  Filsafat Kependidikan dan dasar filsafat kependidikan pancasila. Surabaya Usaha Nasional. Hal 52.

Sufyarma M. Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Cet. ke-2. Bandung: Alfabeta CV, 2004.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Cet. keempat, Bandung: Alfabeta CV, 2007.

2006. Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.




[1]     Marihot Manulang, Otonomi Pendidikan, http://pakguruonline.pendidikan.net/

[2]     Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
[3]     Sufyarma M., Kapita Selekta Manajemen Pendidikan, Cet. ke-2, (Bandung: Alfabeta CV, 2004). pp. 81-82
[4]       Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
[5]     Sufyarma M., op. cit. p. 70
[6]       Marihot Manulang, Loc. Cit.
[7]       Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Cet. keempat, (Bandung: Alfabeta CV, 2007). p. 59
[8]     Jalan Terjal Menuju Otonomi Pendidikan, http://www.polarhome.com/pipermail/ nasional-m/2002-December/000518.html

[9]       Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar