TUGAS KELOMPOK
”MAKALAH URGENSI FILSAFAT PENDIDIKAN
BAGI PELAKU DAN PEMERHATI PENDIDIKAN”
Diajukan
untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan dan
Pembelajaran
Dosen Pengampu
: Dr. Anam Sutopo
DISUSUN OLEH :
ARFAN RIFQI F
(Q100160069 / IA)
BIMA PERMANA S (Q100160079 / IA)
SRI WAHYUNI (Q100160080 / IA)
PROGRAM
STUDI MAGISTER
ADMINISTRASI PENDIDIKAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA
2016
KATA
PENGANTAR
Puji sukur hanya untuk Allah SWT yang telah menganugerahi
karunia-Nya yang begitu banyak, sehingga makalah yang berjudul URGENSI
FILSAFAT PENDIDIKAN BAGI PELAKU DAN PEMERHATI PENDIDIKAN ini dapat
diselesaikan tepat waktu. Makalah ini disajikan untuk memenuhi salah satu tugas
Mata Kuliah Filsafat Pendidikan dan
Pembelajaran pada Program Studi Magister
Administrasi Pendidikan Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Di dalam makalah ini dipaparkan kosep otonomi pendidikan dengan
mengambil sudut pandang dari beberapa sumber. Pada makalah ini dipaparkan pula urgensitas
pelaksaan dan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan otonomi pendidikan.
Selain itu, dijabarkan juga analisis terhadap permasalahan yang dihadapi dalam
pelaksanaan otonomi pendidikan, dan di bagian akhir makalah ini terdapat
kesimpulan dan saran bagi perbaikan pelaksanaan otonomi pendidikan.
Diharapkan makalah ini dapat memberi masukan kepada para pengambil
kebijakan dalam bidang pendidikan di pusat maupun daerah dan menjadi stimulus
bagi para pelaku pendidikan di lapangan pendidikan.
Akhir
kata, kritik dan saran yang dapat menyempurnakan makalah ini sangat diharapkan.
Surakarta,
Oktober
2016
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR ...................................................................................... .. 2
DAFTAR
ISI ..................................................................................................... ...3
BAB
I PENDAHULUAN ................................................................................. ...4
A.
Latar
Belakang Permasalahan................................................... ...4
B.
Ruang
Lingkup Penulisan ......................................................... ...5
C.
Tujuan
Penulisan......................................................................... ...6
BAB
II PEMBAHASAN .................................................................................. 7
A. Urgensi Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan
Pemerhati
Pendidikan dalam Konsep Otonomi
Pendidikan…………………………………… ………………….....7
B. Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati
Pendidikan
dalam Urgensi Otonomi Pendidikan……………..10
C. Urgensi Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan
Pemerhati
Pendidikan dalam Permasalahan
Pelaksanaan
Otonomi Pendidikan…………………………….12
D. Analisis
Masalah Urgensi Filsafat Pendidikan
bagi
Pelaku dan Pemerhati Pendidikan dalam
Konsep
Pelaksanaan Otonomi Pendidikan………………......13
BAB
II PENUTUP
...................................................................................... 18
A.
Kesimpulan................................................................................
18
B.
Saran
.......................................................................................... 18
DAFTAR
PUSTAKA........................................................................................
22
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Permasalahan
Sentralisasi pengelolaan pendidikan nasional selama Indonesia merdeka, ternyata telah menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai negara yang jauh tertinggal dibanding dengan negara-negara lain di dunia. Hal ini tercermin dalam laporan United National Development Program (UNDP), yang memposisikan Indonesia pada peringkat 110 dari 173 negara, jauh di bawah Malaysia (peringkat 55), Thailand (peringkat 70), Filipina (peringkat 77), Cina (peringkat 96) dan Vietnam (peringkat 109). Kenyataan tersebut telah mendorong lahirnya semangat baru dan visi yang lebih demokratis dan lebih desentralistis dalam pengelolaannya, sehingga dapat mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan potensi dirinya, potensi lingkungan terdekatnya, dan potensi yang lebih luas.
Isu-isu sentral yang dihadapi bangsa Indonesia pada era dan pasca era reformasi mencakup pula globalisasi yang makin merasuk dan menerpa dengan keras terhadap seluruh aspek kehidupan, harus segera dijawab oleh bangsa Indonesia dengan mempersiapkan tenaga pembangunan yang tangguh dan berwawasan global. Globalisasi sebagai akibat berkembangnya teknologi informasi merupakan salah satu karakteristik Abad 21 yang sangat signifikan. Isu ke dua terkait dengan tantangan situasional yang dihadapi oleh bangsa Indonesia sendiri untuk melakukan reformasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Isu ke tiga berkaitan dengan otonomi daerah yang telah menciptakan kondisi baru untuk melakukan pembaharuan di berbagai sektor pembangunan nasional, termasuk sektor pendidikan. Perubahan di sektor pendidikan tidak saja berkait dengan sistem kelembagaan dan program pendidikan, tetapi juga berkait dengan visi, misi, dan peranannya dalam merespon tuntutan baru dewasa ini dengan wawasan global, nasional, regional, dan lokal.
Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal tentu mengundang problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan ini memeng sangat sulit diputus. Selain itu, dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh yang sungguh-sungguh dari pemerintah pusat mauun daerah untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa.
Oleh karena itu, pada era otonomi saat ini, hendaknya dapat menjadi harapan baru bagi kita yang terlibat dalam pengembangan pendidikan agama. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam hal otonomi pendidikan adalah mewujudkan organisasi pendidikan di seluruh kabupaten/kota yang lebih demokratis, transparan, efisien, accountable, serta mendorong partisipasi masyarakat.
Dalam konteks otonomisasi pendidikan, pembelajaran yang berlangsung di lembaga-lembaga pendidikan hendaknya sudah menjadikan pemerintah pada posisi sebagai fasilitator dan bukan pengendali. Sehingga, pemeran utama pembelajaran adalah guru sebagai pengajar dan murid sebagai yang belajar. Murid atau peserta didik hendaknya diberi hak untuk mendapatkan pengajaran yang sesuai dengan pilihannya dan diperlakukan sesuai dengan potensi dan prestasinya. Hal tersebut menjadi alasan penulis untuk mengangkat judul di atas yakni urgensi filsafat pendidikan bagi pelaku dan pemerhati pendidikan untuk mengetahui filsafat pendidikan serta menerapkannya untuk membantu memeinimalisir masalah pendidikan yang ada saat ini.
B.
Ruang Lingkup Penulisan
Makalah ini berfokus pada beberapa hal yang berkaitan dengan urgensi
filsafat pendidikan bagi pelaku dan pemerhati pendidikan dalam bidang otonomi pendidikan
dan pelaksanananya. Struktur makalah ini diawali dengan paparan konsep
tentang otonomi Pendidikan, kemudian diikuti dengan penjelasan urgensi pelaksanaan otonomi pendidikan, permasalahan
dalam pelaksanaan otonomi pendidikan, dan diakhiri dengan analisis masalah
dalam kebijakan otonomi pendidikan dan pelaksanaannya.
C.
Tujuan Penulisan
Secara umum, makalah ini ditulis dengan maksud memberikan gambaran
umum tentang urgensi filsafat pendidikan bagi pelaku dan pemerhati pendidikan
dalam konsep
otonomi pendidikan, urgensi pelaksanaan otonomi
pendidikan, permasalahan dalam pelaksanaan otonomi pendidikan,
dan bagaimana mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Diharapkan
makalah ini dapat memberi masukan kepada para pengambil kebijakan dalam bidang
pendidikan di pusat maupun daerah dan menjadi stimulus bagi para pelaku
pendidikan di lapangan pendidikan.
Secara khusus, tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi
salah satu tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan dan Pembelajaran pada Program
Pascasarjana Program Studi Magister Administrasi Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Urgensi Filsafat
Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati Pendidikan dalam Konsep
Otonomi Pendidikan
Reformasi 1998 menjadi babak baru dalam segala aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara di Indonesia, tak terkecuali dalam bidang pendidikan. Era
ini mendatangkan hawa perubahan pada arah kebijakan pendidikan nasional.
Kebijakan otonomi daerah telah menghasilkan kebijakan desentralisasi pendidikan
dan manajemen berbasis sekolah dimana masing-masing sekolah diberikan
keleluasaan untuk mengembangkan program yang relevan dengan kebutuhan
masyarakat.
Otonomi pendidikan memiliki pengertian luas, mencakup filosofi,
tujuan, format dan isi pendidikan maupun manajemen pendidikan itu sendiri.
Pengertian otonomi pendidikan bersifat filosofis, karena untuk mendapatkan
landasan yang kokoh diperlukan adanya kajian yang bersifat mendasar, sistematis
dan universal tentang hakikat otonomi.
Dalam konteks otonomi pendidikan, secara alamiah (nature)
pendidikan adalah otonom. Otonomi pada hakikatnya bertujuan untuk
memandirikan seseorang atau suatu lembaga atau suatu daerah, sehingga otonomi
pendidikan mempunyai tujuan untuk memberi suatu otonomi dalam mewujudkan fungsi
manajemen pendidikan kelembagaan. Sebagai sebuah bangsa yang plural, sudah
saatnya setiap daerah di negara ini melaksanakan program pendidikan yang
terbaik untuk daerahnya, sementara tugas pemerintah pusat hanya membuat
regulasi dan memberikan pengawasan serta bertanggung jawab sepenuhnya bagi
terlaksananya pendidikan nasional sebaik mungkin.
Sejarah perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang
demokratis kalau tidak dapat disebut liberal ketika pada saat ini otonomisasi
pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai dari UU No. 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, “privatisasi” perguruan tinggi negeri dengan
status baru yaitu Badan Hukum Milik Negara (BHMN) melalui PP No. 25 tahun 2000,
sampai UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan
Daerah yang mengatur konsep, sistem dan pola pendidikan, pembiayaan pendidikan,
juga kewenangan di sektor pendidikan yang digariskan bagi pusat maupun daerah.
Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan
insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa
secara demokratis.
Pengertian otonomi dalam konteks desentralisasi
pendidikan, menurut Tilar (dalam
Marihot Manurung) mencakup enam aspek,
yakni:
1. Pengaturan perimbangan kewenangan pusat dan daerah,
2. Manajemen partisipasi masyarakat dalam pendidikan,
3. Penguatan kapasitas manajemen pemerintah daerah,
4. Pemberdayaan bersama sumber daya pendidikan,
5. Hubungan kemitraan stakeholders pendidikan,
6. Pengembangan infrastruktur sosial. [1]
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bab IV tentang
Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah. Pada
bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat
berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
program pendidikan”, pasal 9: “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan
sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Begitu juga pada bagian keempat
Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2):
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna
terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai
lima belas tahun”.[2]
Kebijakan pemerintah tentang desentralisasi
(otonomi) sudah barang tentu akan berimplikasi terhadap kebijakan daerah. Dalam
perumusan kebijakan daerah tidak hanya melibatkan tokoh-tokoh kunci saja, akan
tetapi melibatkan semua unsur, seperti pejabat struktural dan non-struktural,
resmi dan tidak resmi, langsung maupun tidak langsung mempunyai andil terhadap
kebijakan tersebut. Implikasi yang muncul dari kebijakan pemerintah tersebut
juga akan melibatkan banyak faktor. Tim
Teknis Bappenas yang bekerja sama dengan Bank Dunia mengemukakan bahwa konsep
desentralisasi dan implikasinya sebagai berikut:
(1) Implikasi administrasi, yakni pemberian kewenangan yang lebih
besar kepada daerah untuk ikut melaksanakan kegiatan pembangunan sesuai dengan potensi
dan kebutuhan setempat,
(2) Impilkasi kelembagaan, yakni kebutuhan anak untuk meningkatkan
kapasitas perencaan dan pelaksanaan unit-unit kerja daerah,
(3) Implikasi keuangan, yakni kebutuhan dana yang lebih besar bagi
daerah untuk dapat melaksanakan fungsinya di bidang pembangunan, dan
(4) Implikasi pendekatan perencanaan pendidikan, yakni kebutuhan untuk
memperkenalkan model pendekatan kewilayahan yang bermula dari bawah, dengan
melibatkan peran serta masyarakat semaksimal mungkin.[3]
B. Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati Pendidikan dalam
Urgensi Otonomi Pendidikan
Dengan
semangat demokratisasi, desentralisasi dan globalisasi, maka dalam
Undang-Undang Sisdiknas yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat paling
kurang sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah
daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan
hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal
(daerah), sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya
saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif. Mulai dari hak
dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya
pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak regulasi dalam mengatur sistem
pendidikan nasional.
Secara
singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10
disebutkan: “Pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.” Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan: “Pemerintah dan pemerintah daerah
menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa
memungut biaya.” Pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan: “Pemerintah dan pemerintah
daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah.” Ayat
(3) pasal tersebut berbunyi: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu
pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang
diselenggarkan oleh masyarakat.” Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan:
“Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20
persen dari APBD.” Ayat (4) berbunyi: “Dana pendidikan dari pemerintah kepada
pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.”[4]
Sebenarnya
masih banyak pasal yang menjelaskan peranan pemerintah dan pemerintah daerah,
namun dari beberapa pasal yang dijelaskan di atas, kiranya cukup menggambarkan
hak dan kewajiban pemerintah maupun pemerintah daerah dalam sistem pendidikan
nasional.
Otonomi
pendidikan merupakan suatu keharusan. Hamijoyo (dalam Sufyarma M.) mengemukakan
perlunya otonomi pendidikan dilaksanan dengan alasan-alasan berikut: (1)
wilayah Indonesia yang secara geografis sangat luas dan beraneka ragam, (2)
aneka ragam golongan dan lingkungan sosial, budya, agama, ras dan etnik serta
bahasa, disebabkan antara lain oleh perbedaan sejarah perkembangan penduduk
dengan segala aspek kehidupannya, (3) besarnya jumlah dan banyaknya jenis
populasi pendidikan yang tumbuh sesuai dengan perkembangan ekonomi, iptek,
perdagangan, dan sosial budaya, (4) perbedaan lingkungan suasana yang mungkin
saja menimbulkan asspirasi dan gaya hidup yang berbeda antara wilayah satu dan
lainnya, dan (5) perkembangan sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang cepat
dan dinamis menuntut penanganan segala persoalan secara cepat dan dinamis pula.[5]
Pemberian
aksentuasi kepada pemerintah daerah dalam Undang-undang Sisdiknas, diharapkan
nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika
dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis
kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain.
Jika
setiap pasal dalam Undang-Undang Sisdiknas tersebut dapat dilaksanakan secara
baik dan konsekuen, maka lambat laun kemelut-kemelut yang mengitari dunia
pendidikan kita selama ini dapat diatasi dan diantisipasi. Oleh karena itu,
untuk merealisasikan semua itu memerlukan dukungan dan kerjasama dari semua
pihak, baik yang terlibat langsung maupun tidak.
Reformulasi konsep pendidikan dan
rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak
pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan mutlak untuk dipikirkan
(rethinking) dan direaktualisasi. Salah satu konsepnya adalah Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar
dan menengah di beberapa provinsi di Indonesia. Dengan demikian dalam konteks
ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan
UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan
pendidikan ini sangat perlu dan mendesak.
C.
Urgensi Filsafat
Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati Pendidikan dalam Permasalahan
Pelaksanaan Otonomi Pendidikan
Sejak digulirkannya otonomi pendidikan, ternyata
pelaksanaannya belum berjalan sebagaimana diharapkan, bahkan pemberlakuan
otonomi justru membuat banyak masalah.
Menurut Marihot, ada 6 (enam) faktor yang
menyebabkan pelaksanaan otonomi pendidikan belum berjalan sebagaimana yang
diharapkan, yaitu:
1. Belum jelas aturan permainan tentang peran dan tata kerja di
tingkat kabupaten dan kota.
2. Pengelolaan sektor publik termasuk pengelolaan pendidikan yang
belum siap untuk dilaksankana secara otonom karena SDM yang terbatas serta
fasilitas yang tidak memadai.
3. Dana pendidikan dan APBD belum memadai.
4. Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah
untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan.
5. Otoritas pimpinan, dalam hal ini Bupati dan Walikota sebagai
penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi
pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas
utama.
6. Kondisi setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam
penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang
dimiliki.[6]
Pelaksanaan otonomi Pendidikan masih belum
sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, disebabkan karena
kekurangsiapan pranata sosial, politik dan ekonomi. Otonomi pendidikan akan
memberi efek terhadap kurikulum, efisiensi administrasi, pendapatan dan biaya
pendidikan serta pemerataannya.
D.
Analisis Masalah Urgensi Filsafat Pendidikan bagi Pelaku dan Pemerhati
Pendidikan dalam Konsep Pelaksanaan Otonomi Pendidikan
Pengertian otonomi pendidikan sesungguhnya
terkandung makna demokrasi dan keadilan sosial, artinya pendidikan dilakukan
secara demokrasi sehingga tujuan yang diharapkan dapat diwujudkan dan
pendidikan diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat, sesuai dengan cita-cita
bangsa dalam mencerdaskan bangsa.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai
bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state
formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang
menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem
nilai-nilai (sistems of values) yang memberi warna dan menjadi
"semangat zaman" yang dianut oleh setiap individu, keluarga,
anggota-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa
dan negara. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah,
khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Pendidikan suatu bangsa akan secara otomatis mengikuti
ideologi suatu bangsa yang dianutnya. Pancasila adalah dasar dan ideologi
bangsa Indonesia yang mempunyai fungsi dalam hidup dan kehidupan bangsa dan
negara Indonesia. Pancasila menjadi pandangan hidup bangsa yang menjiwai segala
aspek dalam kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara. Karenanya
sistem pendidikan nasional Indonesia wajar apabila dijiwai, didasari dan
mencerminkan identitas Pancasila. Cita dan karsa bangsa Indonesia diusahakan
secara melembaga dalam sistem pendidikan nasioanal yang bertumpu dan dijiwai
oleh suatu keyakinan, pandangan hidup dan folosofi tertentu. Inilah dasar
pikiran mengapa filsafat pendidikan Pancasila merupakan tuntutan nasioanl dan
sistem filsafat pendidikan Pancasila adalah sub sistem dari sistem negara
Pancasila. Dengan memperhatikan fungsi pendidikan dalam membangun potensi
bangsa, khususnya dalam melestarikan kebudayaan dan kepribadian bangsa yang ada
pada akhirnya menentukan eksistensi dan martabat bangsa. maka sistem pendidikan
nasional dan filsafat pendidikan pancasila seyogyanya terbina secara optimal
supaya terjamin tegaknya martabat dan kepribadian bangsa. Filsafat pendidikan
Pancasila merupakan aspek rohaniah atau spiritual sistem pendidikan nasional,
tiada sistem pendidikan nasioanal tanpa filsafat pendidikan.
Dalam kaitan dengan reformasi pendidikan, maka apa yang
menjadi landasan filsafat dalam pendidikan adalah UUD 1945 pasal 31 ayat (1),
yang menyebutkan bahwa setiap anak Indonesia berhak untuk belajar. Dengan
demikian, maka berdasarkan landasan bahwa setiap anak itu adalah individu yang
berbeda satu dengan lainnya dengan beragam bakat dan watak, pengalaman belajar
harus menjadi pengaruh yang bersifat personal, bermakna dan beragam.
Konsekuensinya adalah bahwa paradigma pendidikan menuju sistem desentralisasi
dalam otonom daerah mengacu pada keharusan pendidikan multikultur. Paradigma
pendidikan multikultur mengisyaratkan bahwa individu siswa belajar bersama
dengan individu lain dalam suasana saling menghormati, saling toleransi dan
saling memahami.
Reformasi pendidikan merupakan suatu proses yang kompleks dan
majemuk, sehingga memerlukan pengerahan segenap potensi yang ada dalam tempo
yang panjang. Di samping itu, yang lebih penting adalah reformasi pendidikan
harus memberikan peluang bagi siapapun pelaku yang aktif dalam pendidikan,
untuk mengembangkan langkah-langkah baru yang memungkinkan peningkatan kualitas
pendidikan. Reformasi pendidikan pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan
dapat berjalan lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan pendidikan
nasional.
Dalam menentukan tujuan pendidikan ada beberapa
nilai yang harus diperhatikan. Hummel (dalam Uyoh
Sadulloh) mensyaratkan tiga nilai yang harus dipertimbangkan dalam menentukan
tujuan pendidikan, yaitu: autonomy, equity, survival.
Pertama, autonomy, yaitu memberi kesadaran,
pengetahuan, dan kemampuan secara maksimum kepada individu maupun kelompok,
untuk dapat hidup mandiri, dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih baik.
Kedua equity, berarti bahwa tujuan pendidikan tersebut harus memberi kesempatan
kepada seluruh warga masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kehidupan
berbudaya dan kehidupan ekonomi, dengan memberikan pendidikan dasar yang sama.
Ketiga, survival, yang berarti bahwa dengan pendidikan akan menjamin
pewarisan kebudayaan dari satu generasi kepada generasi berikutnya.[7]
Desentralisasi pendidikan merupakan bagian dari
kerangka otonomi daerah yang berimplikasi pada perimbangan keuangan
pusat-daerah, baik dari sisi pendapatan maupun pengeluaran. Sesuai dengan arah
otonomi, sumber pembiayaan rutin dan pembangunan pendidikan harus bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kabupaten/kota. Akan tetapi,
minimnya alokasi anggaran pendidikan di daerah merupakan salah satu bukti
lemahnya keberpihakan pemerintah kabupaten/kota dalam bidang pendidikan. Dari
sekitar 370 kabupaten/kota di Indonesia, rata-rata memberi porsi anggaran
sebesar 73 persen untuk belanja rutin pegawai, pejabat, dan DPRD. Hanya 27
persen untuk pembangunan. Dari total anggaran pembangunan, bidang pendidikan
rata-rata hanya kebagian tiga persen. Keberpihakan ini perlu digarisbawahi
karena untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain, Indonesia harus
membenahi bidang pendidikan. Laporan UNDP tahun 2002 menyebutkan, Human
Development Index (HDI, index pembangunan manusia) Indonesia berada pada
peringkat 109 dari 174 negara yang diteliti.
Hal
lain yang juga harus menjadi perhatian dalam pelaksanaan otonomi
pendidikan adalah bahwa pelaksanaan otonomi pendidikan harus bersifat accountable,
artinya kebijakan pendidikan yang diambil harus selalu dipertanggungjawabkan
kepada publik, karena sekolah didirikan merupakan institusi publik atau lembaga
yang melayani kebutuhan masyarakat. Otonomi tanpa disertai dengan akuntabilitas
publik bisa menjurus menjadi tindakan yang sewenang-wenang.
Ada
kecenderungan para bupati/wali kota begitu bersemangat untuk mengurusi semua
bidang, termasuk bidang pendidikan. Namun, semangat mereka tidak diimbangi
dengan kesadaran akan konsekuensi dan tanggung jawabnya. Yang dikejar adalah
kucuran dana dari pusat, tanpa sadar bahwa hal itu punya konsekuensi yang
besar. Kewenangan mengelola pendidikan, misalnya, harus diikuti upaya
menciptakan iklim kondusif untuk pendidikan dasar-menengah.
Prof.
Dr. Sadu Wasistiono, Ketua Komisi Otonomi Daerah pada Asosiasi Pemerintah
Provinsi Seluruh Indonesia, dalam sebuah kesempatan menilai bahwa ada
kecenderungan pemerintah kabupaten/kota mengintervensi pengangkatan kepala
sekolah. Sungguh sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan manajemen
berbasis sekolah (MBS). Padahal, konsep MBS pada awalnya dibuat untuk
menyeleraskan otonomi daerah dengan otonomi bidang pendidikan. Dalam hal ini,
para guru dan perwakilan masyarakat di setiap sekolah secara otonom berhak
memilih dan mengangkat dan memberhentikan kepala sekolah berdasarkan
kinerjanya. "Konsep MBS memang ideal, tetapi praktiknya terkacaukan oleh
paradigma sempit para birokrasi soal otonomi daerah," ujar Sadu.[8]
Staf
ahli Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Ace Suryadi, Ph.D. dalam sebuah
kesempatan menyatakan bahwa di sebuah provinsi di luar Jawa, kecenderungan
bupati/wali kota berperilaku sebagai "raja-raja kecil" telah
mengangkangi otonomi sekolah. Rentang kendali birokrasi bukannya makin
sederhana, tetapi malah tambah rumit. Pembayaran gaji dan honor kelebihan jam
mengajar sering terlambat dari jadwal karena anggarannya tersangkut pada
meja-meja birokrasi di daerah. Bahkan, untuk kebijakan internal sekalipun,
tidak jarang perangkat bupati dan DPRD ikut campur tangan. Misalnya, untuk
memecat siswa yang nakal kepala sekolah harus berembuk dengan perangkat dinas
pendidikan dan DPRD. Kalau tidak ada koordinasi, kepala sekolah bisa
dipersalahkan jika muncul gejolak sosial sebagai buntut pemecatan itu.[9]
Melihat
kenyataan itu, pantaslah kita jika menggugat komitmen semua kalangan yang
tadinya menggebu-gebu menuntut desentralisasi. Semua pihak, terutama pemerintah
kabupaten/kota selaku ujung tombak otonomi daerah, perlu mencermati keadaan
riil di lapangan. Jangan sampai eforia otonomi justru melahirkan
ketidakberaturan pada bidang pendidikan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
paparan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Desentralisasi
pendidikan menempatkan sekolah sebagai garis terdepan dalam berperilaku untuk
mengelola pendidikan. Desentralisasi juga memberikan apresiasi terhadap
perbedaan kemampuan dan keberanekaragaman kondisi daerah dan rakyatnya.
2. Reformasi
pendidikan merupakan realitas yang harus dilaksanakan, sehingga diharapkan para
pelaku maupun penyelenggara pendidikan harus proaktif, kritis dan mau berubah.
3. Belajar
dari pengalaman sebelumnya yang sentralistik dan kurang demokratis membuat
bangsa ini menjadi terpuruk. Penyelenggaraan otonomi pendidikan sepenuh
hati dan konsisten dapat mengangkat harkat dan martabat bangsa dan masyarakat
yang berbudaya dan berdaya saing tinggi sehingga bangsa ini duduk sejajar
dengan bangsa-bangsa maju di dunia.
4. Pelaksanaan
otonomi daerah yang berimplilkasi pada otonomi pendidikan membawa dampak pada terjadinya kesenjangan antar
daerah, sehingga pemerintah perlu membuat aturan dalam penentuan standar mutu
pendidikan nasional dengan memperhatikan kondisi perkembangan kemandirian masing-masing daerah.
B.
Saran
Berangkat dari ide otonomi pendidikan, muncul beberapa konsep
sebagai solusi dalam menghadapi kendala dalam pelaksanaannya, yaitu :
1. Meningkatkan
Manajemen Pendidikan Sekolah
Dalam
menghadapi kondisi di lapangan saat ini, maka dalam pelaksanaan otonomi
pendidikan perlu dilakukan pemantapan manajemen pendidikan yang bertumpu pada
kompetensi guru dan kesejahteraannya. Ada tiga faktor untuk meningkatkan mutu
pendidikan, yaitu motivasi guru, buku pelajaran dan buku bacaan serta pekerjaan
rumah. Dengan demikian tampak dengan jelas bahwa akhir penentu dalam
meningkatkan mutu pendidikan tidak pada bergantinya kurikulum, kemampuan
manajemen dan kebijakan di tingkat pusat atau pemerintah daerah, tetapi lebih
kepada faktor-faktor internal yang ada di sekolah, yaitu peranan guru,
fasilitas pendidikan dan pemanfaatannya. Kepala Sekolah sebagai top manajemen
harus mampu memberdayakan semua unit yang dimiliki untuk dapat mengelola semua
infrastruktur yang ada demi pencapaian kinerja yang maksimal.
Selain
itu, untuk dapat meningkatkan otonomi manajemen sekolah yang mendukung
peningkatan mutu pendidikan, Pimpinan Sekolah harus memiliki kemampuan
untuk melibatkan partisipasi dan komitmen dan orangtua dan anggota
masyarakat sekitar sekolah untuk merumuskan dan mewujudkan visi, misi dan
program peningkatan mutu pendidikan secara bersama-sama.
2. Reformasi
Lembaga Keuangan Hubungan Pusat-Daerah
Perlu
dilakukan penataan tentang hubungan keuangan antara Pusat-Daerah menyangkut
pengelolaan pendapatan (revenue) dan penggunaannya (expenditure)
untuk kepentingan pengeluaran rutin maupun pembangunan daerah dalam rangka
memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Sumber keuangan diperoleh dari
Pendapatan Asli Daerah, Dana perimbangan, pinjaman daerah dan lain-lain
pendapatan yang syah dengan melakukan pemerataan diharapkan dapat
mendukung pelaksanaan kegiatan pada suatu daerah, terutama pada daerah miskin.
Bila dimungkinkan dilakukan subsidi silang antara daerah yang kaya kepada
daerah yang miskin, agar pemerataan pendidikan untuk mendapatkan kualitas
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
3. Kemauan
Pemerintah Daerah Melakukan Perubahan
Pada
era otonom, kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah
daerah. Bila pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan
kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di
daerahnya akan maju. Sebaiknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang
baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi
dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated dan
tidak pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang.
Otonomi
pendidikan harus mendapat dukungan DPRD, karena DPRD-lah yang merupakan penentu
kebijakan di tingkat daerah dalam rangka otonomi tersebut. Di bidang
pendidikan, DPRD harus mempunyai peran yang kuat dalam membangun pradigma dan
visi pendidikan di daerahnya. Oleh karena itu, badan legislatif harus
diberdayakan dan memberdayakan diri agar mampu menjadi mitra yang baik.
4. Membangun
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Kondisi
sumber daya yang dimiliki setiap daerah tidak merata untuk seluruh Indonesia.
Untuk itu, pemerintah daerah dapat melibatkan tokoh-tokoh masyarakat, ilmuwan,
pakar kampus maupun pakar yang dimiliki Pemerintah Daerah/Kota sebagai Brain
Trust atau Think Thank untuk turut membangun daerahnya, tidak hanya
sebagai pengamat, pemerhati, pengecam kebijakan daerah. Sebaliknya, lembaga
pendidikan juga harus membuka diri, lebih banyak mendengar opini publik,
kinerjanya dan tentang tanggungjawabnya dalam turut serta memecahkan masalah
yang dihadapi masyarakat.
5. Pengaturan
Kebijakan Pendidikan antara Pusat dan Daerah
Pemerintah
Pusat tidak diperkenankan mencampuri urusan pendidikan daerah.
Pemerintah Pusat hanya diperbolehkan memberikan kebijakan-kebijakan bersifat
nasional, seperti aspek mutu dan pemerataan. Pemerintah pusat menetapkan
standard mutu. Jadi, pemerintah pusat hanya berperan sebagai fasilitator dan
katalisator bukan regulator.
Otonomi
pengelolaan pendidikan berada pada tingkat sekolah, oleh karena itu lembaga
pemerintah harus memberi pelayanan dan mendukung proses pendidikan agar
berjalan efektif dan efisien.
DAFTAR PUSTAKA
Aanchoto. 2010. Filsafat Pendidikan dan
Perspektif Islam. Diakses pada situs http://aanchoto.com/2010/06/filsafat-pendidikan-dan-perspektif-islam/. Tanggal 16 Oktober 2016 pada pukul 18.30 WIB.
Azra, Azumardi. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Bandung:
Alfabeta.
Arahan Permendikbud. 2013. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.
Bernadib. 2987. Filsafat
Pendidikan/Sistem dan Metode. IKIP Yogyakarta.
Hasan. 2013. Landasan Filosofis Kurikulum. Jakarta: Rajawali
Pers.
Jalalluddin dan Abdullah Idi, 1997.Filsafat
Pendidikan. Jakarta:Gaya media Pratama. Hal.116-120.
,
2002. Filsafat Pendidikan, Manusia, Filsafat dan Pendidikan. Jakarta:
Gaya Media Pratama.
Jalan Terjal Menuju Otonomi Pendidikan, http://www.polarhome. com/pipermail/nasional-m/2002-December/000518.html (Diakses pada hari Minggu 16 Oktober 2016 pada pukul 20.55 WIB).
Kaelan. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Bidang Filsafat,. Yogyakarta:
Paradigma.
Massofa. 2008. Peranan Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan
Ilmu Pendidikan. Diakses pada
situs http://masoffa.wordpress.com/2008/01/15/peranana-filsafat-pendidikan-dalam-pengembangan-ilmu-pendidikan/. Tanggal 16 Oktober 2016 pada pukul 19.00 WIB.
Mudyahardjo, Redja.
2002. Filsafat Ilmu
Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Marihot Manulang. Otonomi Pendidikan, http://pakguruonline.pendidikan.
net/otonomi_pendidikan.html (Diakses pada
hari Minggu 16 Oktober 2016 pada pukul 21.05 WIB).
Noorsam, Muhammad.1986. Filsafat
Kependidikan dan dasar filsafat kependidikan pancasila. Surabaya Usaha
Nasional. Hal 52.
Sufyarma M. Kapita
Selekta Manajemen Pendidikan, Cet. ke-2. Bandung: Alfabeta CV, 2004.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Uyoh Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, Cet. keempat,
Bandung: Alfabeta CV, 2007.
2006. Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[1] Marihot Manulang, Otonomi Pendidikan,
http://pakguruonline.pendidikan.net/
[3] Sufyarma M., Kapita Selekta Manajemen Pendidikan,
Cet. ke-2, (Bandung: Alfabeta CV, 2004). pp. 81-82
[7] Uyoh Sadulloh, Pengantar
Filsafat Pendidikan, Cet. keempat, (Bandung: Alfabeta CV, 2007). p. 59
[8] Jalan Terjal Menuju Otonomi Pendidikan, http://www.polarhome.com/pipermail/ nasional-m/2002-December/000518.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar